JAKARTA – Pemerintah memutuskan untuk meningkatkan iuran BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020 lalu. Hal ini dipicu adanya defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun. Kenaikan iuran tersebut dilakukan untuk menutup defisit anggaran.
Anggota Komisi IX DPR Anwar Hafid meminta tata kelola keuangan BPJS Kesehatan dengan rumah sakit atau puskesmas diperbaiki. “Saya minta supaya ini diaudit. Kita tidak tahu ini, misalnya permintaan klaim-klai rumah sakit ini apa benar sudah sesuai atau tidak,” ujar Anwar Hafid di Jakarta, Senin (27/1/2020).
Politikus Partai Demokrat ini mengatakan, selama ini persoalan klaim ttersebut yang mengetahui hanya pihak rumah sakit dengan petugas BPJS. Dia mencontohkan dulu ketika dirinya menjadi Bupati Morowali, Sulawesi Selatan, untuk mengetahui klaim Jamkesda, dirinya mempekerjakan dokter sebagai tim auditor sehingga benar-benar mengetahui laporan yang diberikan pihak rumah sakit memang sudah sesuai atau belum. “Harusnya itu kalau betul kita mau membenahi BPJS, itu (persoalannya) di klaim (tagihan). Itu harus benar-benar kita jaga karena kemungkinan besar sumber kebocoran ada di situ karena tidak semua verifikator BPJS itu tahu maka itu harus disoroti,” katanya.
Kedua persoalan data juga harus benar-benar diperhatikan. Karena itu, sensus penduduk harus dilakukan dengan benar. “Saya sepakat, pendataannya itu dilakukan BPJS yang melakukan sensus langsung ke masyarakat, bukan menggunakan data Kemensos,” katanya.
Anwar mengatakan, sebenarnya BPJS sesuai dengan UU adalah lembaga nirlaba sehingga tidak mungkin kalau tidak mengalami defisit. Berbeda dengan asuransi yang memang hrus berorientasi terhadap keuntungan. Terkait kenaikan iuran BPJS kelas III mandiri, pihaknya meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan untuk segera mencarikan soluisi karena DPR sudah menolak kenaikan tersebut berdasarkan aspirasi masyarkat. Apalagi, kenaikan iuran kelas III dari Rp25.500/jiwa menjadi Rp42.500 juga sangat memukul pemerintah daerah. Sebab, daerah juga menanggung biaya kesehatan masyarakat miskin. ”Jadi daerah itu dengan kenaikan 100 persen, misalnya PBI sebelumnya dianggarkan RP30 miliar, sekarang harus bayar Rp60 miliar. Daerah dari mana dana segitu? Ini daerah teriak-teriak semua,” katanya.
Senada, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Edy Wuryanto mengatakan, kemampuan daerah berbeda-beda sehingga banyak daerah yang mengeluh atas kenaikan iuran BPJS. Apalagi, dengan kenaikan yang berlaku mulai 1 Januari, semua daerah belum mengalokasikan dalam APBD 2020. “APBD sekarang juga berat dengan kenaikan BPJS karena ada sebagian daerah yang mampu, ada yang tidak. Dia harus menanggung biaya dua kali lipat. Banyak pemeritnah daerah yang berat. Tapi apapun beratnya, ini bukan bisnis, ini hak rakyat,” tuturnya.
Di sisi lain, Edy Wuryanto meminta agar dengan adanya kenaikan iuran BPJS ini, pemerintah melakukan reformasi total terhadap kualitas layanan kesehatan baik di puskesmas maupun rumah sakit. “Dan itu panglimanya harus Menteri Kesehatan. Puskesmas diperbaiki, rumah sakit diperbaiki, praktik dokter diperbaiki. Ini orang sudah mengiur, berharap dapat manfaat. Yang enggak adil orang sudah bayar tapi mau masuk rumah sakit enggak bisa. Naik iuran berat, iya, tapi menjadi enggak masalah kalau pelayanan kesehatannya bagus. Itu Menkes harus cepat. Menkes harus pasang badan untuk kepala daerah. Menteri harus meyakinkan perbaikan kualitas layanan kesehatan,” paparnya.